Kamis, 09 Juni 2011

Orang Betawi: Kampungnya Ilang diambil Orang ?



Khouw Kim An (1910-1942
Sebaris lirik dalam lagu pembuka sinetron "Pepesan Kosong" karya Ali Shahab yang ditayangkan TPI pada paruh pertama dekade 1990-an—" kampungnya ilang diambil orang" — menggugah pemikiran saya sebagai anak Betawi yang kebetulan sedikit-sedikit bisa menulis. Siapa yang mengambil kampung orang Betawi?

SOEKARNO, SOEHARTO, DAN ORANG BETAWI

Mempelajari kasus-kasusnya, baik yang terekam dalam ingatan pribadi melalui perantaraan mata maupun berdasarkan kabar yang disiarkan media komunikasi massa dan penuturan lisan orang-orang tua, tersimpulkan secara nyata bahwa hilangnya kampung-kampung orang Betawi di Jakarta secara perlahan-lahan setelah usainya masa revolusi fisik terjadi lantaran tiga sebab: Tindakan zalim penguasa, kerakusan pihak pengembang perumahan, dan kesediaan orang Betawi sendiri untuk melepas tanahnya. Antara sebab pertama dengan sebab kedua, sangat dapat dipastikan pendukung keberhasilannya lantaran sebuah kekuatan yang sama: Aparat keamanan.

Kezaliman penguasa negeri ini terhadap orang Betawi terjadi sejak jaman Orde Lama dimana Soekarno (1901-1970) yang dianggap "manusia setengah dewa" itu duduk sebagai pucuk pimpinannya. Ia misalnya, untuk menyebut salahsatu saja, mengidekan penggusuran empat kampung bernama Senayan, Petunduan, Kebun Kelapa, dan sebagian  Bendungan Hilir, demi ambisinya membangun sebuah kompleks olahraga lengkap dengan lapangannya yang besar dan megah untuk menghadapi Asian Games ke-IV, Agustus 1962.[1] Pemilihan kawasan seluas 270 hektar itu konon telah direncanakan sejak tahun 1960 dengan alasan bahwa saat itu Jakarta belum memiliki sarana olahraga yang besar dan mewah, terlebih yang mampu menampung atlet dari 58 negara di Asia. Maka berdirilah Gelora Senayan dengan sarana-sarana pendukungnya.

Adapun orang Betawi yang menjadi penghuninya digusur dengan sangat semena-mena dengan uang pengganti sekedar saja untuk membangun rumah di kavling-kavling yang sudah disediakan di daerah Tebet — yang saat itu masih berupa rawa-rawa. Namun ternyata banyak yang tidak kerasan tinggal di sana disebabkan tingkat keamanan yang buruk yakni sering terjadinya perampokan terhadap "orang gusuran" yang dianggap membawa banyak uang. Mereka umumnya kemudian pindah ke kampung-kampung lain di Jakarta Selatan, semacam Kebayuran Lama[2], Pasar Minggu, atau Lenteng Agung, bahkan ke daerah Tambun di Bekasi dan Depok.

Kezaliman penguasa kita terhadap orang Betawi terus berlanjut dan semakin parah terjadi pada masa Orde Baru dengan Soeharto (1921-2008) sebagai "manusia setengah tuhan" pada pemerintahannya yang bersifat sentralistis bahkan berwujud menjadi personalisasi — dengan sosoknya sebagai nukleus sentral seluruh negeri. Soeharto — seperti "kebijakannya" pada semua hal — sangat sewenang-wenang dan sangat tidak mengindahkan orang Betawi di tanahnya sendiri, dalam bentuk-bentuk penghilangan unsur dan peran kebetawian yang begitu kentara. Mulai dari jabatan kepala kampung Betawi (baca: Gubernur DKI Jakarta) yang tidak pernah diberikan kepada orang Betawi,  penggusuran kampung-kampung orang Betawi yang didukung kekuatan tentara dan polisi, nama jalan yang sedikit sekali mengambil dari nama tokoh-tokoh Betawi, ornament gedung-gedung pemerintahan dan swasta di Jakarta yang kering dari nuansa Betawi, hingga uang RI yang tidak pernah menampilkan wajah Muhammad Husni Thamrin,  Ismail Marzuki, atau hal-hal lain yang bernuansa Betawi.[3] Jurus kedua bapak bangsa ini dalam menghadapi dan memperlakukan orang Betawi, ironisnya, sangatlah mirip.

Soeharto sendiri terlihat hanya satu kali menghormati Betawi, yakni saat HUT ke-50 RI di tahun 1995 — yang selama satu bulan penuh dirayakan secara gegap-gempita di seluruh pelosok negeri. Itu pun hanya sebatas untuk sebuah perayaan dalam rangkaian pesta besar-besaran yang menghabiskan dana bermilyar-milyar rupiah. Saat itu di Lapangan Monas, ia memakai busana khas keseharian lelaki Betawi yang berupa peci hitam, baju koko, sarung diselempangkan di pundak, celana batik, dan sandal. Pada hari itu Betawi memang dialem dan diempok-empok kagak ketulungan di tingkat nasional.[4] Entah apa alasannya. Sebab biasanya seni-budaya Jawa atau Bali-lah yang ditonjolkan.

KAPITEN ARAB, KAPITEN TIONGHOA, DAN KAPITEN BETAWI

Langkah Soekarno dan Soeharto dalam memperlakukan orang Betawi mengingatkan kita pada langkah pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu, untuk mengurangi bebannya dalam mengatur tiga suku bangsa Timur Asing — Arab, Tionghoa, serta Moor dan Bengali — yang  menjadi penduduk Batavia, pemerintah Hindia Belanda mengangkat seorang mayor atau kapiten dari masing-masing mereka  sebagai kepala warga. Maka muncullah nama-nama seperti Sjech Said bin Salim Naum (1844-1864) hingga Sjech Hassan bin Saleh Argoebi (1931-1942) sebagai Kapiten Arab. Lie Tiauw Ko (1817-1823) hingga Khouw Kim An (1910-1942) sebagai Kapiten Tionghoa.  dan Hamied Lebe Ibnoo Boseen Candoo (1817-1825) hingga Pakirian Kattan (1912-1916) sebagai Kapiten Moor dan Bengali.

Kedudukan mereka berada di bawah Bestuur voor Vreemde Oosterlingen (pengaturan administrasi untuk orang Timur Asing) dan bertanggungjawab kepada Residen Batavia. Sedangkan komandan distrik dan wijkmeester (oleh lidah Betawi menjadi Bek, hingga mencuatkan istilah Tuan Bek) bertanggungjawab kepada asisten residen. Kedudukan-kedudukan ini dalam struktur administrasi orang pribumi disebut Inlandsch Beestur. Ironisnya, seperti juga ditulis Mona Lohanda dalam bukunya,  sampai awal abad ke-20, Batavia tidak memiliki patih atau bupati sebagai kedudukan tertinggi dalam Indlandsch Beestuur untuk  ilayah administrasi Batavia. Posisi patih baru ada pada Mei 1908, dan bupati baru pada Maret 1924. Ini pun tidak pernah dijabat oleh orang Betawi.

Menurut catatan, para walikota, bupati dan patih di Batavia sejak 1925 hingga 1942 (tahun kedatangan Jepang), selalu dijabat oleh orang Belanda, Sunda, dan Jawa. Sedangkan Indlandsch Koomandant (Komandan Pribumi) hanya ada pada suku-suku lain hingga terdapat nama-nama yang menjadi Kapiten Melayu, Kapiten Ooster-Javanent, Kapiten Wester-Javanent, Kapiten Sumbawa dan Mandhar, Kapiten Ambon dan Bugis, Kapiten Bugis dan Makasar, serta Kapiten Bali. Tidak ada yang namanya Kapiten Betawi!

Mungkin hanya Thamrin Mohammad Thabrie — ayahanda  Mohammad Hoesni Thamrin — yang patut diingat sebagai orang Betawi yang termasuk dalam golongan "orang pangkat-pangkat" (istilah lama untuk orang yang memiliki jabatan di pemerintahan). Ia adalah wedana pertama di distrik Batavia (diangkat pada 1 Mei 1908, dan berakhir Pebruari 1911). Pada masa itu di Batavia ada enam Wedana Distrik, yakni: Wedana Distrik Batavia, Wedana Distrik Weltevreden (kini Jakarta Pusat), Wedana Distrik Tangerang, Wedana Distrik Meester Cornelis (kini Jatinegara), Wedana Distrik Kebayuran, dan Wedana Distrik Bekasi. Jabatan ini ada sejak 1908, dan berakhir ketika datangnya Jepang pada 1942. Dan sejarah telah mencatatnya.

PONDOK INDAH DI PONDOK PINANG

Beberapa kali saya pernah ditanya orang non-Betawi (atau Betawi) mengenai "kampung asal" sehubungan predikat saya sebagai sastrawan Betawi: "Betawi mana?' Ketika saya memberi jawaban "Betawi Pondok Pinang", mereka bertanya kembali, "Cipinang 'kali?" atau "Pondok Pinang di mana, ya?". Sering saya tersenyum dahulu sebelum benar-benar menjawab. Senyuman saya ini lantaran, pertama: Apakah mungkin saya tidak bisa membedakan nama kampung sendiri dengan kampung orang lain, lantaran di telinga saja Cipinang jelas terdengar berbeda dengan Pondok Pinang? Kedua, lantaran: Pondok Pinang itu sudah lama ada alias bukan hasil bentukan kemarin sore.

Ketika saya jelaskan bahwa Pondok Indah berada di Pondok Pinang, lantaran sebagian Pondok Pinang dicaplok untuk menjadi perumahan Pondok Indah, barulah mereka mengangguk-angguk tanda mengerti: "O, begitu." Sesungguhnya ada perasaan sedih dan kecil hati saya atas kejadian-kejadian seperti itu. Sebab sebuah kampung besar tempat saya dan keluarga besar saya lahir, besar, hidup, dan mungkin dimakamkan, ternyata kalah terkenal namanya oleh sebuah nama perumahan yang dibangun di atas airmata orang Betawi.[5] Saya juga sedih dan kecil hati  jika ada orang yang menganggap bahwa Pondok Indah itu semata nama daerah dan bukanlah nama perumahan. Namun biasanya saya akan kembali tersenyum, dan senyum saya itu semakin lebar, atas pengetahuan orang semacam ini, yang bagi saya sangat mengenaskan.

Hal menggenaskan lain (atau menggelikan) yang saya temui adalah setiap kali melihat papan nama sebuah pasar di Pondok Pinang dekat Kali Baru, yang oleh pemerintah dengan naifnya diberi nama "Pasar Pondok Indah" (mungkin lantaran dianggap berada dekat dengan  Perumahan Pondok Indah), atau melihat papan nama sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan — tepatnya  mencatut — nama  Pondok Indah sebagai alamat jalannya. Padahal jelas-jelas bangunannya berada di Pondok Pinang, di sisi Jalan Ciputat Raya yang tepat membelah kampung saya. Celakanya, pihak kelurahan yang sesungguhnya memiliki kewenangan untuk membereskan hal-hal ini, ternyata diam saja dalam "keluguannya".

(Persoalan menjual dan mencatut nama memang tidak hanya terjadi pada nama seseorang yang dianggap bisa memberi keuntungan, tetapi juga nama tempat. Ini mengingatkan saya pada nama "Bintaro" yang dicatut untuk nama-nama perumahan yang berada jauh dari Perumahan Bintaro Jaya, hingga mengesankan tempat itu dekat atau merupakan bagian dari Perumahan Bintaro Jaya yang dimaksud.)

Keberadaan nama Pondok Pinang yang kalah terkenal oleh nama Pondok Indah, mengingatkan saya pada banyak cerita kelam yang telah lama saya dengar dari seorang encing saya (suami dari adik perempuan ibu saya). Ia berasal dari kampung yang kini menjadi Perumahan Pondok Indah. Menurut encing saya itu, awalnya penggusuran yang terjadi di sana dikatakan oleh orang-orang pemerintahan kepada orang-orang kampung adalah untuk pembangunan jalan.[6] Sama sekali tidak disebut-sebut untuk pembangunan kompleks perumahan.

Orang-orang Betawi di sana, terbuktikan lewat banyak fakta, digusur dengan sangat semena-mena oleh kaki-tangan pemerintah, dalam hal ini tentara dan polisi, dengan ancaman kata-kata, senjata api, dan juga tindakan kekerasan dan teror yang kelewat batas. Selain itu, jawara-jawara Betawi yang ada juga turut membantu mengancam orang-orang yang sesungguhnya sekampung dengan mereka. Persis centeng-centeng pada masa tuan tanah di jaman Hindia Belanda. Cerita serupa juga sering saya dengar dari orang-orang di Pondok Pinang sebelah timur yang merupakan tetangga lama encing saya tersebut, atau mereka yang tinggal di Pondok Pinang sebelah barat dekat Kali Pesanggrahan.

Menurut cerita almarhum engkong saya (dan dikuatkan oleh cerita nyai saya), jawara-jawara yang umumnya sebaya dengannya itu dan dikenalnya dengan baik, kemudian menemui ajal dengan cara-cara yang sangat buruk. Engkong dan nyai saya menyakini, itu sangat erat hubungannya dengan perbuatan mereka yang ketika hidup menzalimi hak orang lain, dalam hal ini tanah. Maka dalam perkara tanah, almarhum engkong dan nyai saya, seperti juga orang Betawi lain yang kebetulan paham agama, sering mengingatkan: "Jangan maen-maen ama urusan tanah. Balesannyah kontan."

Engkong saya sendiri alhamdulillah tidak terlibat sebagai "centeng" lantaran ia hanya penggemar burung perkutut dan kutilang yang memiliki pekerjaan lain dan tanahnya sangat luas dengan hasil kebun yang beragam. Ibu dan bapak saya, dalam banyak pembicaraan, membahas hal serupa mengenai sepak terjang para jawara tadi dan ajal buruk yang menimpa mereka.

MAKAN TANAH DAN PUSAKO TINGGI

Setelah sebab pertama dan sebab kedua yang merupakan sebab ekstern, sebab ketiga atas hilangnya kampung-kampung orang Betawi secara perlahan-lahan adalah kesediaan mereka sendiri untuk melepas tanahnya — sebab intern. Bukan rahasia lagi bahwa orang Betawi begitu mudah menjual tanah miliknya untuk keperluan sesaat, seperti biaya pernikahan anak atau dirinya, menikah lagi, pergi haji, membeli motor, membeli barang-barang pengisi rumah peningkat harga diri, atau bahkan untuk makan dan biaya hidup sehari-hari (saya mengistilahkannya sebagai “makan tanah”), meski tanah itu merupakan warisan satu-satunya yang ditinggalkan orangtua. Ini berbeda sekali dengan budaya matrilineal seperti yang dikenal pada masyarakat Minangkabau dimana tanah dipegang oleh pihak perempuan secara turun-temurun dan hampir tidak pernah diperjualbelikan lantaran bisa menghilangkan jejak keturunan mereka. Tanah ini disebut sebagai "pusako tinggi".

Seorang teman kecil di Pondok Pinang, belasan tahun lalu pernah saya ingatkan untuk tidak menjual rumah keluarga besarnya, lantaran nama jalan yang kami tempati diambil dari nama buyutnya. Sebab saat itu terdengar kabar bahwa orangtua dan encang-encing-nya, berniat menjual rumah itu untuk dibagi-bagikan sebagai warisan setelah wafatnya sang engkong. Mereka berniat pindah ke daerah lain di Ciputat yang harga tanahnya masih lebih murah. Saya berpendapat, rumah itu sangat besar maka bisa ditempati banyak orang. Mereka yang sudah berkeluarga, mungkin sebaiknya mengontrak di tempat lain sehingga privasi pun bisa terjaga.

Saya mengingatkan betul hal ini lantaran pertimbangan jangan sampai orang tidak tahu dimana keberadaan anak-cucu-cicit dari sang empunya nama jalan dan jejak keturunan mereka pun hilang. Waktu itu saya mengistilahkan, ibarat singkong yang tercerabut seluruhnya maka tidak akan ada lagi bekasnya. Mungkin orang asli Pondok Pinang, atau endonan (pendatang) yang sudah puluhan tahun tinggal di sana, akan tahu siapa sang buyut dan siapa saja keturunannya. Tapi orang yang baru beberapa bulan tinggal? Tentu jangan diharapkan tahu.

Namun apa daya, sang teman tidak mampu menahan keluarga besarnya untuk mengurungkan niat. Kini mereka hidup berpencaran dengan mengontrak rumah. Tidak tersisa lagi satu orang pun keturunan itu di sana. Hanya tersisa nama sang buyut sebagai nama jalan. 

ANJING-ANJING KOMPENI DAN SALAH SENDIRI


Saya tidak menyalahkan dan mempermasalahkan penggusuran yang terjadi di kampung-kampung orang Betawi yang dilakukan pemerintah. Lantaran sebagai ibukota negara atau bukan, Jakarta pasti akan berubah dan tidak mungkin terus menjadi kampung sederhana dengan bangunan-bangunan yang juga sederhana sehingga tertinggal dibanding kota-kota lain. Dan perubahan ini pasti terjadi pula di daerah-daerah lain yang mengalami pembangunan. Saya hanya menyalahkan dan mempermasalahkan bagaimana proses penggusuran itu, yang kerap diwarnai intimidasi dan kekerasan fisik, dengan uang pengganti yang amat sangat seadanya. Termasuk juga yang dilakukan oleh pihak swasta dalam hal ini konglomerat perumahan — yang dibeking penuh oleh "anjing-anjing kompeni".[7]

Pada kasus-kasus seperti ini kiranya masuk akal dan termaklumi jika orang Betawi mengatakan “kampungnya ilang diambil orang”. Namun pada kasus tanah-tanah yang dijual dengan cara sah atas kesediaan sendiri lantaran kebutuhan ekonomi—seperti untuk biaya pernikahan, menikah lagi, pergi haji, membeli barang-barang peningkat harga diri, atau bahkan untuk makan dan biaya hidup sehari-hari—tentunya sangat keliru jika orang Betawi menyalahkan orang lain lantas mengatakan "kampungnya ilang diambil orang".

Pan emang kemaoannyah kendiri!

Akhirul kalam, di sisi lain saya hanya mengernyitkan dahi melihat orang-orang yang membuat kekacauan di daerah-daerah lain nusantara dan menuntut ini-itu dengan meminta pemakluman orang seluruh negeri bahwa hidupnya lebih buruk dibanding orang lain khususnya di Jakarta, dan merasa dirinya lebih menderita dan lebih ditindas oleh penguasa. Sebab bukan hanya mereka yang ditindas, bukan hanya mereka yang menderita. Tidakkah mereka membaca, salahsatunya saja, sejarah penindasan berupa penggusuran tempat tinggal dan penyampingan peranan yang dilakukan oleh penguasa Orde Lama dan Orde Baru terhadap orang Betawi di tanahnya sendiri—layaknya Indian di Amerika dan Aborigin di Australia?

Tabe!


Ditulis oleh Chairil Gibran Ramadhan, lahir dan besar di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Sastrawan Betawi, eseis, editor, dan mantan wartawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar